Assalamu’alaikum..,,,, bagaimana
puasanya kali ini teman-teman? Yang pastinya masih semangat semua kan??? :) well, kali ini saya akan sharing tentang hukum memakai
HIGH HEELS atau WEDGES..,,,
Menggunakan sepatu bertumit tinggi atau berhak tinggi (high
heels) tampaknya sudah menjadi tren dan suatu keumuman yang terjadi di kalangan
para wanita, bahkan wanita muslimah sekalipun. Tidak hanya para model
di catwalk atau para bintang film yang tengah beraksi di red carpet
saja, tapi di kantor, di jalan-jalan, di pusat perbelanjaan, di sekolah, bahkan
di tempat kajian pun banyak wanita muslimah yang menggunakan sepatu atau sandal
tinggi ini. Ada yang memakai model high heels (sepatu atau sandal
yang bagian tumitnya saja yang tinggi), ada pula yang menggunakan wedges
yaitu sepatu atau sandal yang bersol tebal, jadi tingginya merata di bagian
bawah sepatu.
Lalu, sebenarnya, bagaimana hukumnya dalam Islam memakai
sepatu berhak tinggi ini?
Maka dalam masalah ini, para ulama’ seperti Syaikh Abdul
Aziz bin Baaz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahumullah
berpendapat bahwa menggunakan sepatu berhak tinggi tidak boleh karena
wanita yang menggunakannya beresiko untuk terjatuh dan membahayakan diri saat
berjalan dengannya. Sedangkan agama kita memerintahkan untuk menjauhi bahaya.
Dalil :
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
(Al-Baqarah: 195)
Menggunakan sepatu berhak tinggi pun memiliki resiko
terhadap kesehatan. Seperti terjadinya pembengkakan pembuluh darah di kaki,
degenerasi persendian kaki, rusaknya tendon achilles, perubahan postur
tulang belakang, dsb. Maka sesuatu yang sifatnya mencelakakan diri atau
membahayakan diri sendiri itu hukumnya haram.
Dan selain itu, menggunakan sepatu berhak tinggi itu
umumnya membuat cara berjalan wanita menjadi berbeda, yaitu lebih
berlenggak-lenggok atau menjadikan betis yang indah jadi terlihat dan
menjadikan wanita nampak lebih tinggi. Maka ini termasuk dalam kategori
tabarruj, sekaligus memiliki unsur penipuan. Padahal, para wanita muslimah
dilarang menampakkan perhiasannya kecuali pada mahram atau orang-orang yang
berhak untuk melihat keindahan dirinya.
Dalil :
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
“Dan janganlah
menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,
atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam.” (An-Nur:
31)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua
golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: Suatu kaum yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita yang
berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka
seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan
tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan
sekian.” [HR. Muslim]
Kebiasaan menggunakan sepatu berhak tinggi ini adalah
salah satu kebiasaan wanita Yahudi dan Nasrani. Wanita-wanita mereka
menggunakan sepatu berhak tinggi ini untuk berhias dan menampakkan kecantikan
mereka untuk memikat pandangan laki-laki. Maka sudah selayaknya seorang wanita
muslimah menjaga dirinya dari hal-hal yang meniru (tasyabbuh)
orang-orang kafir dan jahiliyah.
Dalil :
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
“…dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu…”
(Al-Ahzab : 33)
Maka kesimpulannya adalah, menggunakan sepatu berhak
tinggi baik itu model high heels maupun wedges itu tidak
diperbolehkan oleh syariat. Karena bahkan meski sepatu wedges itu resiko
terjatuh atau terpelesetnya lebih kecil daripada sepatu high heels, dan
bagi sebagian orang menilai dari sisi kesehatannya lebih baik dibandingkan
sepatu high heels, namun tetap termasuk dalam kategori tabarruj
dalam memakainya.
Memakai sepatu bertumit tinggi adalah haram, karena:
1. Memakainya termasuk dalam
bab kedustaan dan kemunafikan, karena ia telah menampakkan wanita dalam bentuk
yang bukan bentuk aslinya.
2. Di dalam memakai sepatu
jenis ini terdapat unsur kesombongan, ujub (bangga diri), dan tipu daya dalam
berjalan. Semua itu adalah perkara-perkara yang tercela menurut syariat.
3. Di dalam memakai sepatu hak
tinggi terdapat tasyabbuh (menyerupai) wanita-wanita barat, karena sepatu jenis
ini belum pernah dikenal di kalangan wanita-wanita kaum muslimin.
4. Membahayakan badan,
lebih-lebih lagi bagi telapak kaki dan betis. Ia dapat menimbulkan otot-otot
betis menjadi kaku dalam waktu yang lama.
5. Kalangan medis telah
menyatakan bahwa sepatu hak tinggi menimbulkan bahaya pada rahim, karena tidak
adanya keseimbangan waktu berjalan
6. Di dalam memakai sepatu
jenis ini terdapat unsur tidak ridha terhadap ciptaan Allah Ta’ala yang telah
menciptakan kita dalam bentuk sebaik-baiknya.
Memakai sepatu
jenis ini tidak ada kecantikan padanya, dan tidak memberikan manfaat kepadanya.
Bahkan dia merupakan bahaya semata, permainan terhadap akal wanita, pengekangan
terhadap kebebasan gerak dan kehidupannya, serta pengendalian terhadap
pemikiran dan cara pandangnya. Berjalan dengan sepatu hak tinggi adalah sulit
dan menyusahkan walaupun ia
membiasakannya dan
bertentangan dengan fitrah wanita.
Sumber :
·
Al-Jami’ li Fatawa Al-Mar’ah Muslimah
·
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah
·
Tampil Cantik & Sehat Sesuai Syariat, M.
Abdul Aziz Al-Musannid, Pustaka Al-Kautsar (Jakarta), hlm 100-102.
·
Panduan Muslimah Mempercantik Diri, Nabil
Mahmud & Ummu Mahmud Al-Asymuni, Pustaka Elba. hlm 98-100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar